Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema
kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan
berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak
adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Saat ini pada umumnya orang Batak
menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Islam Sunni. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan
tadisional yakni: tradisi Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini
jumlah
KEPERCAYAAN
Sebelum suku Batak Toba menganut
agama Kristen Protestan, mereka
mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon
yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud
dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba
mengenal tiga konsep, yaitu:
- Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
- Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
- Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan
suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen
dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan
kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.
SALAM KHAS
BATAK
Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing
masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua
salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah.
Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang
menggunakannya
1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita
Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam
Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi
Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
RUMAH ADAT BATAK
Ruma gorga atau sering disebut ruma bolon atau “Si
Baganding Tua” adalah rumah adat suku Batak yang sekaligus menjadi simbol
status sosial masyarakat yang tinggal di Tapanuli, Sumatera Utara. Mereka yang
dikategorikan sebagai suku Batak itu meliputi 6 puak, yaitu: Batak Toba, Batak
Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Rumah adat Batak terdiri atas 2 bangunan utama yaitu ruma
(tempat tinggal) dan sopo (lumbung padi). Letak keduanya saling
berhadapan dipisahkan pelataran luas yang berfungsi sebagai ruang kegiatan
warganya. Rumah adat ini berbentuk empat persegi panjang dengan denah dalamnya
merupakan ruangan terbuka tanpa kamar atau pun sekat pemisah. Dahulu, sebuah
rumah adat Batak berukuran besar (rumah bolon) dihuni 2 hingga 6
keluarga.
Sapukan pandangan Anda pada rumah adat ini yang atapnya
berbentuk segitiga dan bertingkat tiga. Amati bagaimana di setiap puncak dan
segitiganya terdapat kepala kerbau yang melambangkan kesejahteraan bagi
penghuni rumahnya. Ciri utama bagian atap yang berbentuk segitiga tersebut
berbahan anyaman bambu (lambe-lambe). Biasanya lambe-lambe
menjadi personifikasi sifat pemilik rumah tersebut yang ditandai dengan warna
merah, putih dan hitam.
Perhatikan juga lekukan ketelitian dari ukiran
tradisional di dinding rumah adat ini. Bagian luar dan depan rumah memuat
ukiran yang dicat tiga warna yaitu merah-hitam-putih. Ukiran tersebut nyatanya
penuh makna simbolik yang menampilkan pandangan kosmologis dan filosofis budaya
Batak. Di sebelah kiri dan kanan tiang rumah ada ukiran yang menggambarkan
payudara sebagai lambang kesuburan (odap-odap). Ada juga ukiran cicak
sebagai lambang penjaga dan pelindung rumah (boraspati).
TARIAN KHAS BATAK
Puncak Pusuk Buhit sekitar 1000-1800
meter diatas permukaan laut di kasawan Desa Sianjur Mula-mula, Kabupaten
Samosir ribuan tahun silam dipercaya orang Batak sebagai awal mula keturunan
pertama suku Batak atau disebut “Si Raja Batak”.
Puncak Pusuk Buhit sendiri menjadi sebuah lokasi misteri yang penuh daya magis, konon sejumlah pejabat dan orang-orang Batak bahkan warga dari Luat Sileban (Turis mancanegara) rela mendaki puncak ini guna mendapatkan sebuah harapan dalam berbagai bentuk.
Seiring dengan kehidupan regenerasi keturunan si Raja Batak, berbagai peninggalan bersejarah saat ini banyak kita ketahui seperti situs-situs budaya di kawasan Sianjur Mula-mula, tongkat Tunggal Panaluan, Ulos, Gondang Batak, dll.
Namun yang perlu kita ketahui, dari berbagai narasumber dikawasan Pusuk Buhit yang ditemui oleh penulis mengisahkan, bahwa tari tor-tor sawan atau tari cawan yang diyakini masyarakat batak sebagai sebuah icon, karena tarian ini diyakini memiliki nilai magis adalah berawal dari sebuah mimpi seorang Raja Batak.
Berawal dari sebuah mimpi seorang raja batak keturunan GURU TATEA BULAN, di kawasan Desa Sianjur. Mula-mula, Puncak Pusuk Buhit, Kabupaten Samosir. Dalam mimpinya, sang raja bermimpi bahwa kawasan pegunungan pusuk buhit tempat keturunan pertama si raja batak akan runtuh, sehingga, akibat mimpi tersebut sang raja pun terus menerus gelisah.
Kemudian sang raja memerintahkan Panglimanya (PANGLIMA ULUBALANG) agar memanggil seorang ahli nujum yang bergelar GURU PANGATIHA untuk menanyakan arti mimpinya. Namun sang Guru Pangatiha mengaku tidak tahu arti mimpi sang raja, akan tetapi Guru Pangatiha meminta supaya raja menggelar sebuah acara ritual yang dinamakan acara membuka debata ni parmanukon atau membuka tabir mimpi.
Oleh Guru Pangatiha, kemudian meminta sang raja agar acara membuka tabir mimpi ini dilaksanakan sebelum bulan purnama tiba atau dalam bahasa batak disebut BULAN SAMISARA. Akan tetapi, untuk membuka tabir mimpi itu jelas-jelas tidak dapat terpenuhi, akan tetapi untuk menangkis hal-hal buruk yang akan terjadi ke daerah kekuasaannya, GURU PANGATIHA menghimbau agar sang raja memanggil seorang sibaso atau dukun perempuan, dimana dukun perempuan yang diyakini masih gadis itu bergelar SIBASO BOLON PANURIRANG PANGARITTARI.
Selanjutnya, oleh dukun perempuan tersebut bersama enam gadis lainnya datang memenuhi panggilan raja untuk membersihkan daerahnya dari mara bahaya, ketujuh gadis tersebut kemudian menari sambil menjingjing sebuah mangkuk atau cawan dikepala masing-masing dengan diiringi alunan musik gondang batak. Dengan tarian barbau mistis, ketujuh gadis itupun menari-nari sambil menyiramkan air dalam sawan/cawan keseluruh arah penjuru desa. Hal ini dimaksudkan untuk mengusir roh-roh jahat yang akan masuk kewilayah kekuasaan raja. Bahwa SIBASO BOLON PANURIRANG PANGARITTARI menari dengan ikat kepala terbuat dari benang tiga warna (merah,hitam dan putih) dan pengikat lain dikitar tubuh.
Puncak Pusuk Buhit sendiri menjadi sebuah lokasi misteri yang penuh daya magis, konon sejumlah pejabat dan orang-orang Batak bahkan warga dari Luat Sileban (Turis mancanegara) rela mendaki puncak ini guna mendapatkan sebuah harapan dalam berbagai bentuk.
Seiring dengan kehidupan regenerasi keturunan si Raja Batak, berbagai peninggalan bersejarah saat ini banyak kita ketahui seperti situs-situs budaya di kawasan Sianjur Mula-mula, tongkat Tunggal Panaluan, Ulos, Gondang Batak, dll.
Namun yang perlu kita ketahui, dari berbagai narasumber dikawasan Pusuk Buhit yang ditemui oleh penulis mengisahkan, bahwa tari tor-tor sawan atau tari cawan yang diyakini masyarakat batak sebagai sebuah icon, karena tarian ini diyakini memiliki nilai magis adalah berawal dari sebuah mimpi seorang Raja Batak.
Berawal dari sebuah mimpi seorang raja batak keturunan GURU TATEA BULAN, di kawasan Desa Sianjur. Mula-mula, Puncak Pusuk Buhit, Kabupaten Samosir. Dalam mimpinya, sang raja bermimpi bahwa kawasan pegunungan pusuk buhit tempat keturunan pertama si raja batak akan runtuh, sehingga, akibat mimpi tersebut sang raja pun terus menerus gelisah.
Kemudian sang raja memerintahkan Panglimanya (PANGLIMA ULUBALANG) agar memanggil seorang ahli nujum yang bergelar GURU PANGATIHA untuk menanyakan arti mimpinya. Namun sang Guru Pangatiha mengaku tidak tahu arti mimpi sang raja, akan tetapi Guru Pangatiha meminta supaya raja menggelar sebuah acara ritual yang dinamakan acara membuka debata ni parmanukon atau membuka tabir mimpi.
Oleh Guru Pangatiha, kemudian meminta sang raja agar acara membuka tabir mimpi ini dilaksanakan sebelum bulan purnama tiba atau dalam bahasa batak disebut BULAN SAMISARA. Akan tetapi, untuk membuka tabir mimpi itu jelas-jelas tidak dapat terpenuhi, akan tetapi untuk menangkis hal-hal buruk yang akan terjadi ke daerah kekuasaannya, GURU PANGATIHA menghimbau agar sang raja memanggil seorang sibaso atau dukun perempuan, dimana dukun perempuan yang diyakini masih gadis itu bergelar SIBASO BOLON PANURIRANG PANGARITTARI.
Selanjutnya, oleh dukun perempuan tersebut bersama enam gadis lainnya datang memenuhi panggilan raja untuk membersihkan daerahnya dari mara bahaya, ketujuh gadis tersebut kemudian menari sambil menjingjing sebuah mangkuk atau cawan dikepala masing-masing dengan diiringi alunan musik gondang batak. Dengan tarian barbau mistis, ketujuh gadis itupun menari-nari sambil menyiramkan air dalam sawan/cawan keseluruh arah penjuru desa. Hal ini dimaksudkan untuk mengusir roh-roh jahat yang akan masuk kewilayah kekuasaan raja. Bahwa SIBASO BOLON PANURIRANG PANGARITTARI menari dengan ikat kepala terbuat dari benang tiga warna (merah,hitam dan putih) dan pengikat lain dikitar tubuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar